Photo by Gia Oris on Unsplash

#3 — Redefining ‘Achievements’

Diella Zuhdiyani
5 min readDec 4, 2021

--

[3rd Episode] A set of reflections to answer the question on ‘who are you without your job title?

Last year I had a conversation with one of my good friends on achievements, ambition, and ‘success’. Her stories impacted me so much and helped me to fill the void I had when things felt like going south.

A few years ago she studied in one of the Ivy Leagues and came back to another Ivy League again for a master's degree — I mention this to give you a better context from whom the perspective is coming from — , someone who I consider as a high-achiever. Her perspectives sometimes are counter-intuitive, yet just feel true, at least for me.

Let me just copy and paste what she said here (we had written convo, in Bahasa Indonesia) and I’ll unpack the key learnings from what she shared.

Karena, well, sedikit banyak aku juga loncat sana sini. Ikut program apa, udah kepilih, programnya belum selesai, langsung nyari program lain, belum selesai lagi, nyari lagi. Wkwkwkw berasa keren aja gitu krn banyak yg di-achieve. Padahal, gak jelas impact ke diri sendiri apa, apalagi impact ke masyarakat.

Hal ini diperburuk karena kegiatan2 yg aku ikutin tuh kayak project2 sosial gitu lho. Terus aku mikir, wagilasih, aku manfaatin problem masyarakat buat ‘memenangkan’ diri aku sendiri. Bukan buat bikin impact, tapi ya for the sake of winning a social project competition. Dosanya dobel2 wkwkwkw

Akhirnya, setelah lulus itu, biasa lah, aku mulai nanya ke diriku, aku pengen jadi orang yg kayak gimana.

Aku baca buku2 ttg essentialism

Aku nonton youtube ttg mediocrity gitu.
Aku juga baca self help book, buku self development, buku motivasi utk menjadi probadi berkualitas dll

Aku dapet beberapa takeaways:
Buku2 motivasi ra mashook buat aku. Segala motivasi utk jadi yg terbaik blablabla itu meurut aku omong kosong.

HAHAHAHA maksudku, mereka tuh ngajarin ‘mencapai’ tapi nggak ngajarin ‘berefleksi’ atas itu.

Kalau dari buku2, ttg essentialism, mindfulness, aku belajar untuk tidak serakah mengambil semua kesempatan. Tapi milih yg kita butuh.

Terus aku juga ketemu dong, satu video yutub bilang gini, Diel:
Semakin kita achieve banyak hal, semakin kita naikkin level kepuasan kita. Yaa macam teori ekonomi lah. Makin banyak, bukan ngerasa puas, tapi justru makin ngerasa kurang.

Dan value yg aku pegang banget sampe sekarang adalah:
Banyak experience/achievement itu gak berarti apa2. Kecuali kita berefleksi atas itu.
Ini menurutku sejalan banget dengan ajaran Islam sih, untuk selalu bertafakkur dan bertadabbur.

Nah, dari situ aku mikir, kayaknya aku gak mau beriprinsip: mencapai sebanyak-banyaknya. Karena sebanyak2nya itu gak jelas ukurannya.

Aku mau membuat semua yang aku alami, aku capai, aku rasakan itu rooted (mengakar), terasa esensial dan substansial, serta beneran bermakna, bukan hanya utk diriku, tapi juga utk orang lain.

Nah, menurutku, itu gak bisa aku dapatkan kalau terus menerus mengejar sesuatu biar bisa jadi nomor satu. Karena waktu kita terbatas, Diel. Kita gak tau mati kapan.

Kalau hidup kita habis untuk mengejar, kita akan kehilangan waktu untuk berefleksi, bertafakkur dan tadabbur itu tadi. Dan utamanya, berterima kasih sih, sama semua pihak yang memungkinkan itu terjadi.

Nah, dari sana deh, aku selaly berpikir, aku mau jadi manusia medioker aja. Manusia biasa-biasa aja. Gak perlu dikenal orang sebagai siapa-siapa.
Tapi, bukan berarti jadi menghilangkan growth mindset.

Aku selalu suka proses belajar dan mengeksplorasi diri. Tapi, mungkin, aku menerapkan prinsip Marie Kondo, pilih opportunity yang bisa aku butuh dan bisa aku pertanggungjawabkan.

Ah, poin aku bisa pertanggungjawabkan itu aku suka banget.

Selayaknya harta kita, menurutku, berbagai kesempatan yg kita punya, privilege yg nempel sama kita, itu adalah hal2 yg suatu saat mesti kita pertanggungjawabkan di akhirat nggak sih?

Ya sederhananya, untuk barang2 di rumah aja aku mau seminimalis mungkin, masa utk capaian2 dan kesibukan lain, mau sebanyak2nya, padahal jelas2 waktu terbatas. Kecuali, kalau aku yakin, capaian tsb bisa dipertanggungjawabkan, atau bantu aku memberikan kontribusi yg lebih besar.

Jadi, kayak yg aku selalu bilang, hidupku dipandang orang biasa aja, tapi aku selalu punya mindset utk mencapai excellence lewat attitude yg mau belajar dan gak take something for granted.

Sebenernya gak masalah juga ya kalau jadi high achiever, yang penting ya itu, gak take it for granted. Direfleksikan, ditadabburi, disadari bahwa itu amanah yg akan dipertanggungjawabkan, gapapa.
Tapi, ya kayak yg aku bilang tadi, apa kita yakin punya waktu untuk refleksi kalau kita sibuk mengejar dan menambah terus?

Key takeaways unpacked:

  1. Strong ‘Why’ is un-negotiable. — Whenever I want to achieve something, I need to sleep on it first and answer the basic question on ‘Why do I aim to achieve this?’.
    Be intentional.
  2. Achievements can either yield gratitude or greed. — The more the less is just true. Take the moment to fully live in the beauty of gratitude. Nevertheless, when the more yields more gratitude, go for it.
  3. Being responsible to achieve the goals does not negate the need to also be accountable for the goals achieved. — Leaving legacies, big or small, even the tiniest legacies left will affect something or someone. Leave harmless things.
  4. Deploying growth mindset and excellence is essential. — One of the essential proofs of gratitude is always getting things done with excellence, intention to grow better, and the love in doing it.
  5. Reflecting is as important as achieving.
    Retrospect on what worked, why things worked, who helped to make those worked; the cheerleaders, those who prayed, those who saw the blind spots and offered guidance. And vice versa. — to be thankful for their presence.
    When I am busy achieving things, without taking any pause to reflect, this is what will happen:

Hi there, thank you for reading my brief reflections about life and career!

If you haven’t, read:

--

--

Diella Zuhdiyani

A product person by day, an (aspiring) entrepreneur by heart — who writes professional and personal learnings here.