Is Marriage Merely the Next Big Thing?

Memandang dan Mempersiapkan Pernikahan sebagai Muslimah, serta Memaknainya Lebih dari Soal Rasa

Diella Zuhdiyani
8 min readJan 18, 2025

بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Suatu siang ketika berkumpul dengan beberapa kolega, salah satu dari mereka berkata sambil becanda kepadaku, “Diella, temen-temen gue banyak yang ke pengadilan negeri (read: bercerai). Ngga usah keburu lah lo nikahnya.”

Kalimat seperti itu memang bagian dari realita, tentunya dengan berbagai faktor penyebab. Dan cara pandang kita sangatlah menentukan keputusan apa yang mau kita ambil; menjadikan realita tersebut sebagai beban yang menakutkan atau sebagai kenyataan yang bisa dipersiapkan.

Pertama kali aku ‘mempelajari’ pernikahan di umur 22 dengan ikut kelas pra-nikah. Ketika Ibu tau, ia agak tergelitik. Akupun bercerita sambil cengengesan, “Bu tau nggak, aku daftar kelas pra-nikah”. Alih-alih karena mau nikah muda, bahkan di waktu itu sama sekali belum kepikiran ingin menikah di usia berapa.

Waktu itu alasanku sederhana; soal pernikahan bukan hal lumrah yang diajarkan di sekolah — padahal ilmu pernikahan itu lebih penting dari ilmu fisika yang aku kejar habis-habisan ketika mau UNAS — jadi aku penasaran.

Setelah enam tahun berjalan — mengikuti rangkaian kelas pranikah, membaca buku tentang pernikahan dan psikologis hubungan, berproses secara serius menuju pernikahan dengan seseorang (dan beberapa kali gagal), mendengarkan kisah-kisah nyata tentang pernikahan — kesimpulanku satu…

drum rolls~

pernikahan bukanlah hal main-main. #SoObvious ehehehehe

Ps. di akhir tulisan ini, aku menyertakan beberapa referensi belajar mempersiapkan pernikahan.

Memaknai Pernikahan

Bagiku — sebagai seorang Muslimah — ada tiga hal yang membuat pernikahan itu menawarkan makna yang sangat penting dalam hidup.

  1. Rasa Tentram dan Senang
  2. Tempat Bertumbuh
  3. Kemudahan Bertaqwa

Let’s unpack what those mean to me.

Rasa Tentram dan Senang

Lucu ya — bagi manusia — semakin kita sering melihat/ merasakan/ mengalami sesuatu, semakin jarang mengapresiasi hal tersebut. Contoh: kita yang mampu makan rutin setiap hari, jadi melihat makan sebagai hal normal dalam hidup. Kita tidak sujud syukur ketika bisa sarapan kemarin pagi, bukan? Bahkan mengucap rasa syukur pun suka lupa.

Sama halnya dengan aku yang overlook ayat Al Qur’an yang selalu ada di undangan-undangan pernikahan.

“ Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” Ar Rum ayat 21

Allah SWT meciptakan kita berpasangan, agar merasa tentram.

Sebagai manusia — yang berjibaku dengan riuhnya bumi dan gemuruhnya pikiran diri — aku butuh rasa tenang. Tentram yang menyenangkan.

Dengan sosok yang tepat, bersama akan menemukan rasa tentram yang menyenangkan. Biidznillah.

Tempat Bertumbuh

Aku penasaran dalam kondisi apa aku bisa bertumbuh secara optimal. Dari sisi emosional, profesional, intelektual, dan spiritual. Setelah aku coba perhatikan, ternyata kondisi terbaik adalah ketika aku memiliki ‘counterpart’.

Contohnya dalam hal pekerjaan. Rancangan yang aku buat pasti akan lebih baik ketika disumbang ide oleh ‘counterpart’, baik itu manajerku, peers, atau timku. Dan proses berinteraksi dengan mereka — menemukan hal yang aku kagumi dari mereka, atau hal yang membuatku kesal dari proses berkolaborasi — membantuku untuk menjadi profesional yang lebih baik.

Pola ini juga terjadi dalam hal pertemanan dan keluarga.

Pun dalam hal pribadi. Sebelum akhirnya melabuhkan pilihan kepada A, aku menjalani proses serius dengan beberapa sosok lain selama beberapa tahun ke belakang. Dalam proses tersebut aku banyak menemukan hal baru tentang diriku. Seperti “ternyata aku punya cara pandang baru”, “ternyata aku bisa melalui ini”, “ternyata aku selemah ini ya”. Kesadaran ini jadi bahan bakar untuk aku bertumbuh.

One of my dearest friends, who is also a clinical psychologist, once mentioned to me,“Our interactions with others help us to unveil parts of us that we did not realise before.”

Aku ingin terus bertumbuh, memaksimalkan potensi diri sebagai manifestasi rasa syukur kepada Maha Pemberi Potensi. So when I stand before my Creator, I can say “Oh Allah with your help, I have done my best.”

Dengan sosok yang tepat, bersama akan menjadi cermin untuk saling bertumbuh. Biidznillah.

Kemudahan Bertaqwa

Bagiku bertaqwa bukan hal yang mudah — butuh ilmu serta petunjuk dari Allah SWT, kerendahan hati, kemauan diri untuk bisa sabar dan semangat dalam taqwa, dan keberadaan lingkungan/orang lain yang mengingatkan.

Mengutip dari tulisan ustadz Muhammad Abduh Tuasikal;

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (XX/132) bahwa takwa bukanlah hanya meninggalkan maksiat (kejelekan) namun takwa -sebagaimana ditafsirkan oleh ulama-ulama dahulu dan belakangan- adalah melakukan apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang Allah larang.

Tholaq bin Habib rahimahullah mengatakan,

أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ وَ أَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عَذَابَ اللهِ

Takwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) dengan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah dan engkau menjauhi maksiat atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) karena takut akan ’adzab Allah. (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 211)

Ketika aku mencoba memahami definisi taqwa ini, rasanya seperti dihadapkan pada gunung yang besar untuk didaki; bukan hal mudah untuk dilakukan, perlu persiapan, ilmu, dan konsistensi. Namun ketika pendakian itu berhasil dicapai, rasanya senang dan syukur.

Oh iya, ketika mendaki gunung juga tidak serta-merta semuanya soal hal berat. Bersama rasa lelah ada pemandangan yang membuat takjub, ada senda gurau, ada momen-momen hidup yang tak terlupakan. Mungkin perkara naik gunung ini bak diorama kecil kehidupan; tentang meraih tujuan, menghadapi rintangan, dan menikmati keindahan.

Pasalnya aku merasa kesulitan ketika mendaki gunung ini sendiri.

Aku ingin bisa meraih puncak terindah dari gunung yang kudaki, bersama mereka yang aku cintai. Aku ingin bisa lebih baik dalam bertaqwa.

Dengan sosok yang tepat, pendakian tersebut akan terasa lebih terarah, menyenangkan, mudah, dan terjaga. Biidznillah.

Mempersiapkan Pernikahan

Tiga makna di atas menjadi salah satu jangkar bagiku dalam menavigasi rencana menikah. PR besar lainnya adalah bagaimana aku mempersiapkan diri untuk membangun pernikahan yang semua makna ini berakar menancap dalam, dengan izin dan kemampuan dari Allah SWT.

Setelah mengikuti beberapa kelas pra-nikah, membaca buku tentang psikologi pernikahan, dan mendengarkan berbagai podcast soal relationship dalam konteks rumah tangga; betul bahwa banyak sekali yang perlu dipersiapkan. Dari soal spiritual, mental, keuangan, kesehatan, dan cara pandang. Kalau aku coba prioritaskan, ada satu hal yang menurutku jadi prioritas nomor satu — yaitu tentang seni merawat hubungan.

Ada tiga hubungan yang perlu senantiasa dijaga dan dirawat dengan sepenuh hati, kualitasnya pun bagiku bisa jadi litmus test apakah aku sudah mendekati siap menikah atau hanya karena ‘marriage is the next big thing’.

Disclaimer: kata ‘mendekati siap’ di atas ditulis secara intentional, karena jika siap menikah diartikan 100% kesiapan, rasanya manusia tidak akan bisa siap.

Fokus Hubungan Pertama: Aku dan Allah SWT

Betul bahwa pasangan dan orang-orang terkasih adalah hadiah dari Allah SWT sebagai salah satu jalan kebahagiaan dalam hidup. Namun mereka juga manusia biasa yang punya limitasi dan tidak selalu mampu memenuhi apa yang kita butuhkan. Vice versa, kita pun terbatas dan memiliki celah.

Jadi mengharapkan kebahagiaan dari sesama manusia — yang tidak bisa selalu konstan — sangatlah berisiko; rasa bahagia dan ketenangan kita sangatlah mudah terombang-ambing.

Ada pemahaman dari buku ‘Reflecting on the Names of Allah’ oleh Ustadzah Jinan Yousef ketika sifat Allah SWT “Al Ghanī” dan “Al Mughnī” ditafsirkan. Al Ghanī berarti Yang Maha Kaya, sedang Al Mughnī bermakna Yang Maha Memberi Kekayaan. Kedua sifat Allah SWT ini mengajarkanku tentang kecukupan, dari mana aku seharusnya menemukan sumber rasa cukup.

“God gave us people in our lives as gifts, but they are not meant to, nor can they, fulfil our every need. So, when we find that those we love cannot give us what we need, it is time to direct that request to Al-Ganī (the Self-Sufficient) Himself, and be forgiving and understanding of the situation of our loved ones.

Something amazing happens here. Because He is also Al-Mughnī (the Enricher), He can enrich you. He can enrich you to the point that you can wholeheartedly love people, but ultimately your dependency is on Him.”

Allah SWT lah satu-satunya yang selalu konstan, kualitas hubungan dengan Dia menjadi kunci penting bagaimana kualitas hubungan yang terbangun dalam rumah tangga.

Fokus Hubungan Kedua: Aku dan Aku

Ada salah satu pembicaraan yang seakan memberikan tanda bahwa A adalah ‘the one’ bagiku. Ketika kami saling bertukar pikir apa yang membuat masing-masing ingin menikah, A menyebutkan bahwa dia ingin menjadi suami, bukan sekedar ingin memiliki istri.

Bagiku menjadi suami dan memiliki istri punya dua sudut pandang yang berbeda. Menjadi suami sudut pandangnya adalah menjalankan peran. Sedang memiliki istri sudut pandangnya adalah menikmati hak (dari istri) sebagai suami.

Sama seperti soal ingin menjadi ayah, bukan sekedar ingin memiliki anak.

Kata kunci di sini adalah perkara ‘peran’.

Memperbaiki hubunganku dengan diriku sendiri bermakna memahami bahwa setelah menikah nanti aku akan menambah peran. Sebagai istri, sebagai menantu, sebagai kakak ipar, bertambah keluarga besar, dan peran di luar rumah lainnya.

Memperbaiki hubunganku dengan diriku sendiri bermakna memahami bahwa menambah peran adalah tentang tanggung jawab dan hati yang lapang dalam menjalaninya.

Memperbaiki hubunganku dengan diriku sendiri bermakna mempersiapkan hal-hal yang aku perlu untuk menjalani tanggung jawab tersebut.

Fokus Hubungan Ketiga: Aku dan Orang Terdekat

Mudah bagi kita untuk terlihat baik di mata orang-orang yang jarang berinteraksi dengan kita; rasa lelah kita bisa disamarkan dengan basa-basi, rasa kesal kita bisa ditutupi dengan menjaga jarak, terlebih kecenderungan manusia untuk menjaga image diri.

Lain halnya dengan orang-orang yang berinteraksi dengan kita secara intens, dari bangun tidur sampai tidur lagi. It is not easy to always be the best for our closest ones, yet they deserve the best version of ourselves.

Sh. Yahya Ibrahim dari Yaqeen Institute menjelaskan tentang hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Rasulullah SAW menyampaikan “Yang terbaik dari kalian adalah yang terbaik untuk keluarga…”

In that explanation Sh. Yahya Ibrahim mentioned “And I want this to be a guiding light for my life and your life. That whenever you want to please Allah the most, begin with those who are near you.”

Memperbaiki hubunganku dengan orang terdekat bermakna menjadi yang terbaik ketika bersama mereka.

Memperbaiki hubunganku dengan orang terdekat bermakna mensyukuri setiap kelebihan dan kekurangan mereka.

Memperbaiki hubunganku dengan orang terdekat bermakna memahami bahwa orang-orang terdekatku adalah nikmat dan rezeki dari Allah SWT yang harus dijaga.

Rekomendasi referensi belajar tentang pernikahan

  1. [Live Online Class] Sekolah Pra-nikah, Nurul Ashri: https://www.instagram.com/spn.nurulashri/
  2. [Live Online Class] Kelas Jadi Istri, Nurul Ashri: https://www.instagram.com/p/DECIgSPzHlg/?utm_source=ig_web_copy_link&igsh=MzRlODBiNWFlZA==
  3. [Book] Sebelum Harimu Bersamanya, Lya Fahmi: https://mojok.co/terminal/sebelum-harimu-bersamanya-oleh-lya-fahmi-persiapan-pernikahan/
  4. [Book] Attached, Amir Levine & Rachel Heller: https://www.goodreads.com/en/book/show/9547888-attached
  5. [Book] Before I do, Practical Muslim: https://limitless.practicalmuslim.com/before-i-do
  6. [Book] Barakallahu Laka, Salim A. Fillah: https://www.goodreads.com/book/show/1601535.Barakallahu_Laka
  7. [Recorded Videos] Wedding Series, Ustadz Nuzul Dzikri: https://www.youtube.com/watch?v=2YIeB12-YtQ&list=PLlmvUktJBphXtMAVJjIx-DnGiUtbbaEF3
  8. [Recorded Video] Nasihat Pernikahan, Ustadz Adi Hidayat: https://www.youtube.com/watch?v=RYjBh0boOFs
  9. [Recorded Video] Edukasi Pra dan Pasca Nikah, Ustadz dr. Aisah Dahlan: https://www.youtube.com/watch?v=S9cPrS6gU8o

Barakallahu fiikum.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Segala puji bagi Allah, dengan kenikmatan dari-Nya menjadi sempurna semua amal kebaikan

Semoga Allah SWT selalu beri kemudahan dan petunjuk dalam setiap langkah kehidupan kita :)

Cheers, love, and prayers
Diella

--

--

Diella Zuhdiyani
Diella Zuhdiyani

Written by Diella Zuhdiyani

A product person by day, an (aspiring) entrepreneur by heart — who writes professional and personal learnings here.

Responses (1)