Pendidikan itu soal Lulus Sekolah?
Memaknai Pendidikan dengan Hati dan Pemikiran
Tulisan ini terinspirasi dari buku The Concept of Education in Islam: Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Syed Muhammad Naquib Al-attas dan sebuah sesi talks tentang pendidikan bersama Najelaa Shihab & Indah Shafira.
Ketika masih kecil, bagiku sekolah adalah rangkaian rutinitas setelah bangun tidur dan sarapan. Rutinitas tanpa makna “kenapa sih aku harus sekolah?”. Terlebih aku pernah masuk ke sekolah yang terkenal sangat akademis dengan para lulusan yang berhasil masuk ke sekolah lanjutan terfavorit, tapi sekolah ini tidak memahami cara anak belajar. I had a horrible nightmare in that school. Sebagai anak usia tujuh tahun, aku pertama kali mengenal emosi stres yang cukup intens; boro-boro belajar, yang ada aku menangis hampir setiap hari di sekolah. Setelah enam bulan bersekolah, orang tuaku memindahkanku dari sekolah tersebut.
Aku pindah ke sekolah yang para guru memiliki kedekatan dengan murid, salah satu guruku bernama Ustadz Ahmad Habiburrahman mengajarkan apa arti belajar bagi seorang anak. Selain mengasah kemampuan akademis dan ikut olimpiade sains, aku diajarkan bahwa belajar itu bisa dengan main di sungai, melosot di bendungan air, main di rel kereta api, nonton film, bersepeda keliling Jogja… dan bolos sekolah.
(ps. bagian bolos sekolah ini bukan diajarkan, tapi akunya aja yang males sekolah 😂)
Setelah 20 tahun, aku menyadari masa kecilku tentang sekolah adalah salah satu life crucible moment yang membuatku belajar untuk jadi pembelajar sepanjang hayat. Yes, to be a lifelong learner.
Tumbuh besar di lingkungan pendidik — sebagian besar keluarga besarku adalah guru dan dosen — aku semakin penasaran, sebenarnya pendidikan itu apa, kenapa, dan bagaimana.
Tentang: Apa & Kenapa
Buku The Concept of Education in Islam: Framework for an Islamic Philosophy of Education oleh Syed Muhammad Naquib Al-attas membantuku memahami apa itu pendidikan dan kenapa, terkhusus dari kacamata Islam. Buku ini memang terlihat tipis — hanya 40-an halaman — tapi aku butuh membaca ulang setiap paragrafnya untuk memahami kedalaman pikiran penulis. Maklum, level pemikiranku ribuan tingkat di bawah beliau.
Mengutip dari penulis:
The concept of education in Islam is recognition and acknowledgment, progressively instilled into man, of the proper place of God in the order of being and existence.
Kesimpulan di atas dijahit dari penjelasan panjang tentang konsep:
- makna/meaning/ma’na
- ilmu/knowledge/’ilm
- keadilan/justice/’adl
- kebijaksanaan/wisdom/hikmah
- perbuatan/action/’amal
- kebenaran/truth/haqq
- sebab-akibat/of reason/nutq
- diri/self/nafs
- hati/heart/qalb
- pemikiran/intellect/’aql
- runutan penciptaan/hierarchical order in creation/marātib & darajāt
- huruf, angka, dan simbol/words, signs, and symbols/āyāt
- interpretasi/interpretation/tafsīr & ta’wil
Menariknya Syed Muhammad Naquib Al-attas menekankan satu konsep utama yang menjadi landasan konsep-konsep di atas, yaitu ‘adab’.
Adab — loosely translates to excellent manner and character — is the epitome of education in Islam.
Mengutip dari bu Najelaa Shihab, “Pendidikan adalah belajar, bergerak dan bermakna. Pendidik adalah kita, semua murid semua guru.” Di sesi talks pekan lalu, beliau juga menekankan bahwa pendidikan itu tentang menanamkan karakter.
Akupun manggut-manggut, mencoba memahami bahwa proses mendidik dan menjadi terdidik adalah tentang membangun karakter mulia.
Tentang: Bagaimana
Ada dua pemeran utama dalam proses pendidikan; murid dan guru. Masing-masing punya peran yang unik dan penting. Keduanya tidak mutually exclusive; sebagai murid kita juga punya hal untuk diajarkan, sebagai guru kita pun senantiasa perlu belajar.
Peran 1: Murid
Beberapa tahun terakhir aku mencoba merefleksikan caraku belajar dan bertumbuh, kemudian menyadari bahwa aku memahami banyak hal dengan connecting the dots. Menariknya, titik-titik tersebut berasal dari banyak konteks yang berbeda. Dan konteks-konteks ini muncul dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benakku.
Jika ditarik, maka benang merah sebagai pembelajar sepanjang hayat ada dua curiousity and ability to reflect.
Peran 2: Guru
Bagian ini banyak dibahas ketika sesi talks bersama Najelaa Shihab & Indah Shafira kemarin Minggu. Peran guru ini tidak sebatas para pengajar, tapi juga para catalyst, yaitu mereka yang melakukan pergerakan dan perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik.
Education reform tidak terjadi dalam hitungan puluhan tahun, tapi ratusan. Berkaca dari peran bu Najelaa Shihab membangun Sekolah Cikal sejak 25 tahun lalu, dengan berbagai inovasinya. Aku belajar dari mereka bahwa perubahan pola pendidikan melalui inovasi itu bukan hal instan.
Apakah seperempat abad bergerak dalam inovasi pendidikan menghasilkan reformasi pendidikan yang masif dan struktural? Belum.
Sebagai catalyst perlu berjalan di atas tiga hal: konsistensi, advokasi, dan kolaborasi.
Di sesi tersebut aku bertanya ke mereka tentang lifelong learner. Berkaca dari 4+ tahun berkarier di industri pendidikan, aku punya hipotesis bahwa orang Indonesia tidak suka belajar. Pertanyaanku ada tiga; 1) apakah hipotesis ini benar? 2) jika benar, apa penyebabnya? 3) peran apa yang bisa kita ambil untuk membuat semakin banyak lifelong learner di Indonesia?
Mereka mengangguk dan menjelaskan bahwa masalah ini pelik. Isu yang sistematis dan perlu kontribusi kolektif dari berbagai lini. Mereka menambahkan bahwa kita bisa mulai dengan diri sendiri, menjadi pembelajar sepanjang hayat dan melakukan advokasi di lingkungan terdekat.
Kembali ke judul tulisan ini “Pendidikan itu soal Lulus Sekolah?” tentu tidak se-sederhana itu.
This serves as a reminder for me of Monash University’s motto; Ancora Imparo, a principle I hold dear and will continue to uphold. I am still learning and always be.
Cheers,
Diella