Realita dan Makna Bekerja secara Remote

Diella Zuhdiyani
4 min readApr 8, 2024
Photo by Kristin Wilson on Unsplash (Tentunya work-setting aku nggak se asik ini)

Dalam hidup, aku banyak melakukan eksperimentasi; kadang melakukan hal-hal yang sesuai arus, kadang melawan arus. Eksperimentasi ini aku lakukan dalam kehidupan personal maupun professional, serta dilakukan dengan anchoring pada nilai-nilai yang benar. Tujuannya untuk menemukan apa yang sebenarnya cocok. Perlu dicatat, namanya eksperimentasi pasti berjalan dengan risiko gagal — paling tidak menanggung opportunity loss.

Setelah lulus kuliah, aku mengambil gap time selama 6 bulan mengerjakan hal-hal jauh dari kesan mapan. Mulai dari membantu teman jualan buku dan membangun independent publishing business miliknya, membantu teman lain jualan dendeng sapi, kerja secara part-time di sebuah startup teknologi, sampai jadi freelancer menulis artikel SEO. Kalau menggunakan uang yang dihasilkan sebagai indikator, tentu gap time ini terbilang gagal. Tapi kalau indikatornya pembelajaran sebagai bekal mau kemana selanjutnya, ya not bad lah 🤪.

Ohya, tentunya aku punya pikiran-pikiran seperti “wah, si A udah masuk ke program MT di perusahaan multinational.” atau “si B lagi business trip yang terlihat seru” atau “si C udah bisa nabung segitu banyak”. Kadang juga bingung ketika ditanya kerjanya apa. Walau lumayan tersiksa dengan rasa FOMO selama 6 bulan, I was glad that I took my time to figure things out.

Setelah dua tahun bekerja secara fulltime kantoran, aku memutuskan melakukan eksperimentasi selanjutnya; masuk ke startup teknologi yang benar-benar baru dirintis (PT-nya aja belum diurus) dan bekerja secara full remote pada tahun 2020. Kebetulan di waktu itu pandemi terjadi, jadi skema kerja full remote ini bukan hal yang eksklusif.

Pandemi sudah selesai, sampai saat ini aku masih bekerja secara full remote di industri teknologi-pendidikan. Dari total bekerja hampir 6 tahun, sekitar 4 tahun aku bekerja secara remote; aku menenemukan realita dan makna dari skema bekerja ini.

Meaningful Home and Companionship

Bekerja remote kemungkinan besar dilakukan dari tempat tinggal; bisa rumah, apartment, kos. Tempat tinggal ini jadi hal yang krusial untuk produktivitas dan kewarasan diri. Bukan sekedar tentang work-set up atau koneksi internet, tapi tentang kualitas companionship dalam tempat tinggal tersebut. Berada serta berusaha membangun rumah yang terasa “rumah” sangatlah penting bagi remote workers.

Disclaimer 1: Tapi bukan berarti kualitas companionship di luar tempat tinggal yang dijalin tidaklah penting ya.

Aku bersyukur tidak ada dinamika yang berat di rumah, atau hal-hal yang membuat aku tidak betah sampai ingin kabur. Kalau rasa bosan dan sepi, ya pastilah ada. Nah, rasa bosan dan sepi ini nggak boleh berlarut sampai grow unnoticed. Karena akan membuat perasaan uninspired tumbuh dalam diri — lama kelamaan bisa bikin lungkrah dan unmotivated. Pokoknya nggak seru rasanya.

Biasanya ketika aku mulai merasa bosan dan sepi, aku harus keluar rumah. Proses keluar rumah ini cukup refreshing buatku. Dari mulai pakai baju bagus, bawa tas, dandan yang cantik, wangi, nyetir atau pesan taksi online, merasakan suasana baru, ngobrol sama teman-teman. Kalau kondisinya sudah parah, aku harus melakukan hal-hal baru; ikut kelas, bertemu orang-orang baru, coba hobi baru, keluar kota, traveling ke luar negeri pas ada rezeki. Finding new inspirations, all over again.

Lalu bagaimana kalau tinggal sendiri?

Hal ini juga new discovery dalam diriku, enam bulan terakhir aku tinggal sendiri di luar kota untuk sekolah lagi sambil bekerja secara remote. Selama ini aku belum pernah benar-benar tinggal sendirian, tanpa keluarga, tanpa house-mates. WAH TERNYATA, se-introver-introver nya aku, it’s difficult for me to live without close companionship. Apalagi beberapa waktu lalu aku harus detach dari hubungan yang cukup serius. Kedua hal ini membuatku cukup merangkak dalam menavigasi rasa sepi tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang aku yakini benar.

Kembali ke pertanyaan “lalu bagaimana kalau tinggal sendiri?”, maafin netizen, aku pun masih belum tau jawabannya 😭

Taste to Entrepreneurship (only when it’s done right)

Bekerja secara remote juga berarti bekerja tanpa “dipantau” oleh bos. Akuntabilitas jadi kunci dalam bekerja, fokusnya bukan output lagi tapi outcome. Dengan kata lain, hasil dari yang dikerjakan, bukan apa yang dikerjakan. It’s hard to sustain the privilege of working remotely without delivering results.

Sebagai professional — kalau pola pikir “result-oriented” ini diterapkan dengan baik — bisa merasakan sedikit dari cara kerja entrepreneur. Dari teman-teman professional yang aku kenal punya reputasi baik dan “dihargai mahal”, mereka bekerja dengan pola pikir entrepreneurship yang kuat.

Disclaimer 2: bukan berarti bekerja secara onsite nggak mendorong entrepreneurial mindset. (Why do I keep making disclaimer like this tho 🫠)

Flexibility with Responsibility and Boundary

Ada yang bilang bekerja dari rumah itu membuat blur batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Bagiku tidaklah demikian.

Bagiku bekerja remote itu tentang fleksibilitas dalam mengatur prioritas. Memang, terkadang ketika online meeting aku sambil mencuci piring atau sambil makan. Atau harus izin away from keyboard pas meeting berjalan karena tiba-tiba hujan dan harus angkat jemuran baju. Atau harus izin sebentar karena ada keperluan rumah/keluarga yang penting. Di sisi lain, kadang juga menyelesaikan pekerjaan di malam hari atau hari libur. Privilese bekerja secara remote ini juga memudahkan aku untuk melanjutkan kuliah tanpa harus keluar kerja. Alhamdulillah.

I know some people who become digital nomads, kerja secara remote sambil traveling ke luar negeri. Ada yang dari Turkey, Australia, Finland, Singapore, bahkan sambil umroh di Saudi Arabia dan ada yang tinggal agak lama di Madinah, sambil kerja di plataran masjid Nabawi 🙌🏻 (pengen banget!) — ketika aku ada keperluan akademik di United States dan cutiku sudah habis, aku juga bekerja dari sana.

Yang penting: fleksibilitas dalam mengatur prioritas ini dilakukan dengan tetap menjaga dalam memenuhi hak perusahaan dan keluarga atau orang-orang sekitar.

Ps. kapan lagi kerja sambil pakai daster.

So what’s my verdict of working remotely; do I want to keep doing it this way?

Selama ada kesempatan bagus bekerja secara remote, I intent to keep doing it this way. Terutama ketika nanti jadi istri dan ibu, inshaaAllah, I guess working remotely will help :)

--

--

Diella Zuhdiyani

A product person by day, an (aspiring) entrepreneur by heart — who writes professional and personal learnings here.